Buku: Tuanku Rao, Terror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak

Demi Balas Dendam, Klan Siregar Ikut Pasukan Paderi Menyerang Bakkara

Penyerbuan pasukan Paderi ke Tanah Batak dimulai pada 1 Ramadhan 1231 H (tahun 1816 M). Dimulai dengan penyerbuan terhadap benteng Muarasipongi yang dipertahankan oleh Marga Lubis. Sebanyak 5.000 orang dari pasukan berkuda ditambah 6.000 infanteri meluluhlantakkan benteng Muarasipongi, dan seluruh penduduknya dibantai tanpa menyisakan seorang pun.

Kekejaman ini sengaja dilakukan dan disebarluaskan untuk menebarkan teror dan rasa takut agar memudahkan penaklukkan. Setelah itu, satu per satu wilayah Mandailing ditaklukkan oleh pasukan Paderi, yang dipimpin oleh Tuanku Rao dan Tuanku Lelo, yang adalah putra-putra Batak sendiri.

Selain kedua nama ini, ada sejumlah orang Batak yang telah masuk Islam, ikut pasukan Paderi menyerang Tanah Batak, yaitu Tuanku Tambusai (Harahap), Tuanku Sorik Marapin (Nasution), Tuanku Mandailing (Lubis), Tuanku Asahan (Mansur Marpaung), Tuanku Kotapinang (Alamsyah Dasopang), Tuanku Daulat (Harahap), Tuanku Patuan Soripada (Siregar), Tuanku Saman (Hutagalung), Tuanku Ali Sakti (Jatengger Siregar), Tuanku Junjungan (Tahir Daulay) dan Tuanku Marajo (Harahap).

Penyerbuan terhadap Singamangaraja X di Benteng Bakkara, dilaksanakan tahun 1819. Orang-orang Siregar Salak dari Sipirok dipimpin oleh Jatengger Siregar ikut dalam pasukan penyerang, guna memenuhi sumpah Togar Natigor Siregar dan membalas dendam kepada keturunan Raja Oloan Sorba Dibanua, yaitu Singamangaraja X.

… Adapun kisah mengenai dendam keturunan marga Siregar terhadap dinasti Singamangaraja, bermula ketika Marga Siregar bermukim di daerah Muara, di Danau Toba, mereka sering melakukan tindakan yang tidak disenangi oleh marga-marga lain. Akibatnya, konflik bersenjata pun tidak dapat dihindari.

Raja Oloan Sorba Dibanua, kakek moyang dari Dinasti Singamangaraja, memimpin penyerbuan terhadap pemukiman Marga Siregar di Muara. Setelah melihat kekuatan penyerbu yang jauh lebih besar, untuk menyelamatkan anak buah dan keluarganya, peminpin marga Siregar, Raja Porhas Siregar meminta Raja Oloan Sorba Dibanua untuk melakukan perang tanding -satu lawan satu- sesuai tradisi Batak. Menurut tradisi perang tanding Batak, rakyat yang pemimpinnya mati dalam pertarungan satu lawan satu tersebut, harus diperlakukan dengan hormat dan tidak dirampas harta bendanya serta dikawal menuju tempat yang mereka inginkan.

Dalam perang tanding itu, Raja Porhas Siregar kalah dan tewas di tangan Raja Oloan Sorba Dibanua. Tetapi ternyata, anak buah Raja Porhas ternyata tidak diperlakukan seperti tradisi perang tanding, melainkan diburu oleh anak buah Raja Oloan. Akibatnya, mereka terpaksa melarikan diri ke tebing-tebing yang tinggi di belakang Muara, meningggalkan keluarga dan harta benda.

Mereka kemudian bermukim di dataran tinggi Humbang. Pemimpin Marga Siregar yang baru, Togar Natigor Siregar mengucapkan sumpah, yang diikuti oleh seluruh Marga Siregar yang mengikat untuk semua keturunan mereka, yaitu: Kembali ke Muara untuk membunuh Raja Oloan Sorba Dibanua dan seluruh keturunannya.

Dendam ini baru terbalas setelah 26 generasi, tepatnya tahun 1819, ketika Jatengger Siregar (keturunan Marga Siregar) –yang datang bersama pasukan Paderi, di bawah pimpinan Pongkinangolngolan (Tuanku Rao)- menyerbu Bakkara, ibu kota Dinasti Singamangaraja…

Begitulah, dalam suasana Perang Paderi itu, Jatengger Siregar yang bergelar Tuanku Ali Sakti, menantang Singamangaraja X (keturunan Raja Oloan Sorba Dibanua) untuk melakukan perang tanding. Walaupun sudah berusia lanjut, namun Singamangaraja tak gentar dan menerima tantangan Jatengger Siregar yang masih muda. Duel dilakukan dengan menggunakan pedang di atas kuda.

Duel yang tak seimbang berlangsung tak lama. Singamangaraja kalah dan kepalanya dipenggal oleh pedang Jatengger Siregar. Terpenuhi sudah dendam yang tersimpan selama 26 generasi. Kepala Singamangaraja X ditusukkan ke ujung satu tombak dan ditancapkan ke tanah. Orang-orang marga Siregar masih belum puas dan menantang putra-putra Singamangaraja X untuk perang tanding. Sebelas putra-putra Singamangaraja memenuhi tantangan ini, dan hasilnya adalah 7 – 4 untuk kemenangan putra-putra Singamangaraja.

Namun setelah itu, penyerbuan terhadap Benteng Bakkara terus dilanjutkan, dan sebagaimana di tempat-tempat lain, tak tersisa seorangpun dari penduduk Bakkara, termasuk semua perempuan yang juga tewas dalam pertempuran.

Penyerbuan pasukan Paderi terhenti tahun 1820, karena berjangkitnya penyakit kolera dan epidemi penyakit pes. Dari 150.000 orang tentara Paderi yang memasuki Tanah Batak tahun 1818, hanya tersisa sekitar 30.000 orang dua tahun kemudian. Sebagian terbesar bukan tewas di medan petempuran, melainkan mati karena berbagai penyakit.

Untuk menyelamatkan sisa pasukannya, tahun 1820 Tuanku Rao bermaksud menarik mundur seluruh pasukannya dari Tanah Batak Utara, sehingga rencana pengIslaman seluruh Tanah Batak tak dapat diteruskan. Namun Tuanku Imam Bonjol memerintahkan agar Tuanku Rao bersama pasukannya tetap di Tanah Batak, untuk menghadang masuknya tentara Belanda. Ketika keadaan bertambah parah, akhirnya Tuanku Rao melakukan pembangkangan terhadap perintah Tuanku Imam Bonjol, dan memerintahkan sisa pasukannya keluar dari Tanah Batak Utara dan kembali ke Selatan.

Enam dari panglima pasukan Paderi asal Batak, yaitu Tuanku Mandailing, Tuanku Asahan, Tuanku Kotapinang, Tuanku Daulat, Tuanku Ali Sakti dan Tuanku Junjungan, tahun 1820 memberontak terhadap penindasan asing dari Bonjol/Minangkabau dan menanggalkan gelar Tuanku yang dipandang sebagai gelar Minangkabau. Bahkan Jatengger Siregar hanya menyandang gelar tersebut selama tiga hari. Mereka sangat marah atas perilaku pasukan Paderi yang merampok dan menguras Tanah Batak yang telah ditaklukkan. Namun hanya karena ingin balas dendam kepada Singamangaraja, Jatengger Siregar menahan diri sampai terlaksananya sumpah Togar Natigor Siregar dan ia berhasil membunuh Singamangaraja X.

Mansur Marpaung (Tuanku Asahan) dan Alamsyah Dasopang (Tuanku Kotapinang) dengan tegas menyatakan tidak mau tunduk lagi kepada Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Nan Renceh, dan kemudian mendirikan kesultanan/kerajaan sendiri. Marpaung mendirikan Kesultanan Asahan dan mengangkat dirinya menjadi sultan, sedangkan Dasopang mendirikan Kerajaan Kotapinang, dan ia menjadi raja.

Tuanku Rao tewas dalam pertempuran di Air bangis pada 5 September 1821, sedangkan Tuanku Lelo (Idris Nasution) tewas dipenggal kepalanya dan kemudian tubuhnya dicincang oleh Halimah Rangkuti, salah satu tawanan yang dijadikan selirnya.

Sedangkan Tuanku Imam Bonjol wafat pada usia 93 tahun di Manado, pada 1864.

Penutup

Buku Tuanku Rao yang terbagi dalam tiga bagian besar dan berisi 34 lampiran ini, disusun ulang persis dengan sebelumnya. Bagi yang tidak terbiasa dengan ejaan lama, agak susah dimengerti. Bahkan dalam tata bahasanya masih dicampur dengan Bahasa Inggris. Ini bisa dimaklumi agar apa yang tertulis dalam penerbitan perdana tidak terkurangi isinya dalam penerbitan kedua.

Namun yang jelas, buku ini memiliki tempat khusus di dalam penulisan sejarah berdasarkan fakta dan representasi historiografi sebagai interpretasi yang tidak mutlak.

Penulis telah menunjukkan adanya kekuatan pada naskah tertulis dalam merekonstruksi visi sejarah Batak bagi perkembangan politik, sosial, dan budaya. Tak dapat disangkal, kontribusi utama buku ini terletak pada temuannya atas faktor lain di luar domain historiografi konvensional. Hal itu jelas akan berdampak luas dalam perdebatan mengenai historiografi Indonesia.

(tulisan ini diramu dari resensi buku Tuanku Rao yang ditulis Batara R Hutagalung dan dari artikel yang dimuat Majalah Tempo dan beberapa sumber di internet/habis) (Sumber)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *