Buku: Tuanku Rao, Terror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak
Ditarik dari Peredaran Tahun 1964, Sempat Dihargai Rp1,5 Juta
Judul bukunya cukup panjang: Pongkinangolngolan Sinambela gelar Tuanku Rao, Teror Agama Islam Mazhab Hambali Di Tanah Batak 1816-1833. Buku yang menghebohkan tahun 1964 ini sempat ditarik dari peredaran. Tentu saja, buku langka di pasaran, bahkan sempat dihargai Rp1,5 juta. Oleh penerbit berbeda, Juni 2007, buku yang mengungkap sisi gelap Gerakan Padri ini kembali diterbitkan.
Penulis buku ini bernama Mangaradja Onggang Parlindungan Siregar. Buku yang awalnya diperuntukkan untuk ‘Sonny Boy’ –kedua anaknya–, terbit pertama kali tahun 1964, dengan Penerbit Tanjung Pengharapan, Jakarta.
Parlindungan menyusun buku itu berdasarkan data sejarah Batak yang dimiliki ayahnya, Sutan Martua Radja. Pada 1918, ayahnya adalah guru sejarah di Normaalschool Pematangsiantar. Ayahnya memiliki warisan dokumen sejarah Batak turun-temurun dari tiga generasi sepanjang 1851-1955.
Di samping itu, Parlindungan memakai bahan-bahan milik Residen Poortman. Posisi Poortman sama dengan Snouck Hurgronje. Snouck adalah seorang ahli Aceh, yang informasinya diminta oleh pemerintah Belanda. Sedangkan Poortman adalah seorang ahli Batak. Poortman pensiun pada 1930 dan kembali ke Belanda. Di Leiden, Belanda, Poortman lalu menemukan laporan-laporan para Perwira Padri sepanjang 1816-1820 untuk Tuanku Imam Bonjol. Parlindungan mengenal Poortman secara pribadi dan pernah bertemu di Belanda. Poortman mengirimkan bahan-bahan laporan itu saat Parlindungan menulis bukunya.
Parlindungan bukan sejarawan profesional. Caranya menulis pun serampangan. Data yang diramunya itu sering ditampilkan cut and glue atau dinarasikan kembali dengan bahasa campuran: bahasa Indonesia lisan, kadang disisipi kalimat-kalimat Inggris yang panjang. Di sana-sini, ia memberikan komentar yang cara penulisannya seperti seorang ayah yang menerangkan kisah kepada anaknya. Kata ganti yang dipakai untuk dirinya adalah “Daddy“. Sedangkan anak laki-lakinya di situ disebut “Sonny Boy“.
Dan memang dalam awal bukunya, MO Parlindungan menulis, sebenarnya ia hanya bermaksud menulis buku untuk putra-putranya. Buku tersebut memuat banyak rahasia keluarga, termasuk kebiadaban yang dilakukan oleh Tuanku Lelo (tokoh yang dianggap pelaku utama pembantaian di Tanah Batak pada zaman Gerakan Padri yang juga nenek moyang penulis).
Dalam buku itu, diceritakan kembali kekejaman dan kebrutalan yang telah dilakukan Kaum Paderi waktu mereka melakukan ivansi ke Tanah Batak. Penulis yang kebetulan berasal dari Tanah Batak, menceritakan penderitaan nenek moyang mereka selama serangan pasukan Paderi antara 1816-1833 di Tanah Batak yang dipimpin oleh komandan-komandan Paderi seperti Tuanku Rao, Tuanku Lelo, Tuanku Asahan, dll.
Menurut penulis, setidaknya ada dua alasan mengapa penyerbuan ke Tanah Batak tersebut dilakukan dengan kekerasan. Selain menyebarkan Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak, penyerbuan itu juga dipicu oleh dendam keturunan marga Siregar terhadap Raja Oloan Sorba Dibanua, dinasti Singamangaraja, yang pernah mengusirnya dari Tanah Batak. Togar Natigor Siregar, pemimpin marga Siregar, pun sampai mengucapkan sumpah yang diikuti seluruh marga Siregar, akan kembali ke Batak untuk membunuh Raja Oloan Sorba Dibanua dan seluruh keturunannya.
Diperkaya dengan 34 lampiran yang antara lain berisi silsilah raja-raja Batak dan Minangkabau, serta dimuati serangkaian penelitian Willem Iskandar di samping dokumen klenteng Sam Po Kong Semarang hasil penyelidikan Residen Poortman, cerita sejarah yang diungkap MO Parlindungan tertuang dalam buku bertebal 691 halaman.
Mayjen TNI (purn.) T.Bonar Simatupang menilai, bahwa tulisan tersebut banyak mengandung sejarah Batak, yang perlu diketahui oleh generasi muda Batak. Setelah diyakinkan, Parlindungan Siregar setuju untuk menerbitkan karyanya untuk publik. Parlindungan Siregar meminta TB Simatupang, Ali Budiarjo SH dan dr Wiliater Hutagalung memberi masukan-masukan dan koreksi terhadap naskah buku tersebut.
Terbitnya buku ini mengundang polemik. “Sebagai sebuah buku sejarah, buku Parlindungan sumbernya sangat lemah. Dokumen Poortman sendiri diragukan. Banyak yang tidak faktual,” kata Dr Asvi Warman Adam dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Hamka sendiri pernah menganggap Tuanku Lelo hanyalah karangan Parlindungan belaka. Sebuah buku khusus pun diluncurkan oleh Hamka bertajuk Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao. Dalam buku setebal 364 halaman yang diterbitkan oleh Penerbit Bulan Bintang pada 1974 itu, Hamka menuding isi Tuanku Rao 80 persen bohong, sedangkan sisanya diragukan kebenarannya. Pasalnya, setiap kali Hamka menanyakan data dan fakta buku itu, Parlindungan selalu menjawab, “Sudah dibakar.”
Memang, sekarang mustahil untuk mengecek semua sumber yang digunakan Parlindungan, karena semua data itu dimusnahkan oleh Parlindungan sendiri.
Dalam bukunya itu, Parlindungan menyebutkan data yang diwariskan ayahnya kepadanya hanya meliputi 20 persen dari yang dimiliki ayahnya. Ia menyaksikan sendiri, pada 1941, ayahnya membakar sisanya sambil bercucuran air mata di tepi Sungai Bah Bolon. “Daddy tidak mau risiko,” katanya kepada anaknya. “Our family secrets yang ketahuan pada outsiders cukup yang terbatas dalam buku ini. No more.”
“Saya menduga, itu adalah alibi dia, yang sebenarnya tak cukup memiliki data otentik, atau bisa juga ia tak mau sejarawan lain menelitinya,” kata JJ Rizal dari Yayasan Bambu, yang menerbitkan Greget Tuanku Rao.
Akan halnya Dr Gusti Asnan, pengajar Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Andalas, Padang, menganggap tidak semua sumber Belanda yang digunakan Parlindungan mengandung bias. Dari 100 laporan, ada 20-50 persen data yang benar. Menurut dia, historiografi Perang Padri sendiri dimulai pada 1950-an. “Saat itu terjadi dekolonialisasi historiografi Indonesia, termasuk Perang Padri. Demi persatuan dan kesatuan, bagian-bagian miring dari data yang ada, seperti kebrutalan Perang Padri, sengaja tidak disiarkan.”
Ia juga melihat gerakan pasukan Padri tak semata-mata bermotif agama, tapi juga ekonomi. Sejak akhir abad ke-18 hingga awal abad ke-19, perkembangan ekonomi di Sumatera Barat memang luar biasa karena booming kopi.
Dr Gusti pernah membaca sebuah kisah tentang saudagar bernama Peto Magik di Pasaman. Ia dikenal sebagai saudagar Padri-bisa dianggap konglomerat. Seorang Belanda bernama Bulhawer yang melakukan kerja sama dengan Peto mengaku tidak melihat sedikit pun gambaran islami padanya. “Kesan yang dilihat Bulhawer, Peto Magik adalah seorang kapitalis. Dan gambaran ini saya rasa juga menggambarkan sebagian besar kaum Padri,” ujar Gusti.
Maka, menurut Gusti, ketika daerah kekuasaan di Tanah Datar dan Agam mulai direbut Belanda, kaum Padri pun meluaskan ekspansi ke utara: Bonjol, Pasaman, dan Tapanuli Selatan. Mengapa ke utara? Karena daerah utara memiliki basis kekayaan yang sangat tinggi. Apalagi, dengan menguasai area tersebut, Padri masih dapat melakukan hubungan dengan kaum lain, seperti Aceh, melalui jalur sungai.
Sekalipun mengakui kekerasan yang dilakukan Padri, sebagian orang memandang dari sudut berbeda. “Soalnya saat itu kan tidak ada HAM,” kata sejarawan Taufik Abdullah.
Basyral sendiri melihat Imam Bonjol mengetahui segala perampokan, pemerkosaan, dan mutilasi yang dilakukan perwira-perwiranya. “Mustahil Imam Bonjol tak tahu. Ia kan komandan,” kata Basyral.
Tapi Taufik Abdullah tak sependapat. Menurut dia, kekerasan di awal gerakan Padri bukan tanggung jawab Tuanku Imam Bonjol. Saat gerakan Padri masih radikal di awal, Tuanku Imam Bonjol masih muda dan baru menjabat sebagai asisten Tuanku Bandaro, salah satu pemimpin gerakan Padri saat itu.
Ketika polemik menghangat, buku itu ditarik dari peredaran. Buku itu pun jadi buku langka. Di sebuah pameran buku di Jakarta, buku itu beberapa tahun lalu bahkan sempat dihargai Rp 1,5 juta.
Lama menghilang, buku Tuanku Rao kembali diterbitkan. Bila di tahun 1964 Tuanku Rao diterbitkan oleh Tandjung Harapan, maka dalam reinkarnasinya kali ini ia diterbitkan oleh LKiS Yogya, Juni lalu, tanpa suntingan apa pun. Bahkan tetap dalam ejaan lama.
Adalah Batara Hutagalung, putra dr Wiliater Hutagalung (salahsatu tokoh yang memberi masukan-masukan dan koreksi terhadap naskah buku karya Mangaradja Onggang Parlindungan Siregar), yang mengupayakan penerbitan kembali buku ini. Karena ia melihat, buku ini sangat banyak mengandung pengetahuan sejarah tentang Batak.
Sebagaimana lumrah terjadi dalam diskusi akademik, khususnya kajian-kajian sejarah Indonesia, barangkali buku ini dapat diletakkan kembali dan diperkenalkan lagi kepada khalayak pembaca dan peminat sejarah. (tulisan ini diramu dari resensi buku Tuanku Rao yang ditulis Batara R Hutagalung dan dari artikel yang dimuat Majalah Tempo) (sumber)