Selain Pak M Hutabarat (sesepuh) yang menyebut isi buku Tuanku Rao sebagai impossible, umumnya peserta diskusi mendukung penerbitan kembali buku itu. Bahkan ada dua orang ‘sesepuh’ lainnya yang memberi kesaksian, kalau cerita sejarah Perang Paderi yang ditulis Mangaradja Onggang Parlindungan, sungguh benar ada. Kedua sesepuh itu yakni Drs Muara Sitorus (70-an) dan Ibu Edith Dumasi Br Nababan (70-an). “Saya tersinggung, kalau ada yang menyebutkan isi buku itu bohong adanya,” tandas ibu Edith br Nababan, mantan Hakim Agung ini.
Penegasan Ibu Edith Dumasi Boru Nababan yang senada dengan tanggapan Drs Muara Sitorus, disampaikan menanggapi buku Buya Hamka berjudul Antara Fakta dan Khayalan Tuanku Rao, yang terbit tahun 1974 sebagai respon atas buku Tuanku Rao. Di mana, menurut sejarawan dari Unimed yang menjadi pembicara dalam diskusi, Dr Phil Ichwan Azhary, Buya Hamka adalah orang pertama yang mengkritik isi buku Tuanku Rao. Hamka menuding isi Tuanku Rao 80 persen bohong, sedangkan sisanya atau 20 persen lagi diragukan kebenarannya. Apalagi setiap kali Hamka menanyakan data dan fakta buku itu, Parlindungan selalu menjawab, “Sudah dibakar.”
Hamka antara lain mempertanyakan informasi Parlindungan mengenai Haji Piobang, pendiri Padri yang disebut Parlindungan pernah menjadi salah satu kolonel tentara Turki di bawah pimpinan Jenderal Muhammad Ali Pasya. Hal mana, tak bisa dijawab Parlindungan dengan tegas.
Hamka juga menolak menanggapi isu tentang adanya pemerkosaan massal dan orgy tawanan perempuan oleh sebagian pasukan Padri. Cerita tentang bagaimana anggota Padri melampiaskan nafsu syahwatnya secara terbuka terhadap tawanan-tawanan cantik dituding Hamka sebagai khayalan Parlindungan belaka. Hamka juga menuduh cerita-cerita seks itu sengaja dipasang Parlindungan untuk menarik hati para pemuda ketimbang mencari data ilmiah. Di mata Hamka, Tuanku Lelo yang menurut Parlindungan bernama asli Idris Nasution itu tokoh karangan Parlindungan belaka.
Senada dengan Hamka, Dr Phil Ichwan Azhary juga membeberkan beberapa fakta dalam buku Tuanku Rao, yang ternyata tak ada jejak dokumen. Antara lain mengenai Residen Poortman yang disebut Parlindungan sebagai salahsatu sumbernya dalam menulis cerita Perang Paderi. Ternyata, saat sejumlah sejarawan –termasuk Ichwan– menelusuri jejak Residen Poortman ini ke Belanda, tak ada dokumen yang menunjukkan kalau Residen Poortman pernah ada di Sumatera. “Bisa jadi, cerita-cerita mengenai Perang Paderi ini dikondisikan oleh Belanda, untuk membuat Orang Batak tak senang kepada orang Minangkabau,” jelas Ichwan.
Menanggapi buku Buya Hamka dan pernyataan Ichwan inilah, Drs Muara Sitorus dan ibu Edith Dumasi Nababan, sesepuh yang hadir dalam diskusi Hikayat Tuanku Rao dan Kilas Balik Perang Padri di Sekretariat Plot Siantar, Senin sore dua hari lalu, memberikan kesaksiannya. Drs Muara Sitorus, seorang mantan guru, misalnya, menyatakan sangat senang saat harian METRO SIANTAR menulis kisah Perang Paderi dan ‘cerita kelam’ dalam keluarga Dinasti Singamangaraja, sebanyak empat seri. “Saya tak menyangka, di zaman sekarang masih ada orang yang peduli dengan kisah sejarah di masa lalu. Terima kasih METRO,” kata tokoh masyarakat asal Porsea yang merantau ke Siantar, mengawali (terima kasih kembali, Pak, red).
Selanjutnya ia mengatakan, fakta sejarah yang ditulis Parlindungan dalam buku Tuanku Rao, sudah lama didengarnya, jauh sebelum buku Tuanku Rao terbit. “Saya sudah lama mendengar kisah mengenai Tingki ni Pidari. Itu adalah kisah mengenai Pasukan Paderi menyerang Tanah Batak. Dari peristiwa Tingki ni Pidari inilah, muncul istilah Monjo (mirip dengan bunyi Bonjol). Monjo ini adalah sebutan orang Batak menyebut Pasukan Paderi,” katanya.
Kalau pasukan Paderi datang, orang-orang akan berteriak “Monjodatang…Monjo datang!” “Kalau ada teriakan Monjo, itu menjadi pertanda bagi orang-orang Batak yang mendengarnya, untuk lari ke hutan menyelamatkan diri,” katanya. Kisah ini didengarnya dari orang-orangtua, yang diceritakan secara lisan. Karena itu, Drs Muara Sitorus senang dengan penerbitan buku Tuanku Rao, dan menegaskan, kalau kisah di dalamnya adalah fakta sejarah.
Mendukung pernyataan Drs Muara Sitorus, Ibu Edith Dumasi Br Nababan, mantan Hakim Agung yang hadir dalam diskusi di Sekretariat PLOt itu mengatakan, Tingki Ni Pidari itu sungguh benar terjadi. “Saya sudah lama mendengar kisah mengenai kisah Tingki Ni Pidari. Dan seperti dikatakan Pak Sitorus, pasukan Imam Bonjol itu disebut Monjo. Kalau Monjo datang, seluruh orang Batak haruslah berlari menyelamatkan diri ke hutan,” katanya.
Sayangnya, hanya anak-anak, wanita, dan pria yang tengah bekerja di sawah yang sempat melarikan diri ke hutan. Sementara yang tinggal di rumah, umumnya perempuan-perempuan cantik yang bekerja menenun ulos/kain, tak sempat kabur.
Untuk memaksa orang-orang yang sembunyi di rumah agar keluar, Pasukan Paderi pun membakar rumah-rumah. Semua perempuan yang bersembunyi dalam rumah terpaksa keluar, daripada terpanggang hidup-hidup. “Itulah makanya, rumah-rumah Batak habis di daerah Silindung. Hanya di Toba saja yang masih tersisa sedikit,” katanya.
Dengan cara inilah, Pasukan Paderi, yang menurut Parlindungan dipimpin oleh Tuanku Rao dan Tuanku Lelo (si kriminal perang versi Parlindungan), menawan sejumlah perempuan Batak. Sebagian dipancung, sebagian lagi diperkosa ramai-ramai.
Yang melarikan diri ke hutan, sebagian besar mati kelaparan. Hanya yang kuat-kuat dan umumnya tak cantik, yang bertahan selamat. “Itulah sebabnya, perempuan-perempuan Batak yang cantik baru ada sekarang ini. Itu karena yang cantik-cantik sudah mati dipancung atau diperkosa oleh Monjo, atau kelaparan di hutan. Hanya perempuan-perempuan kuat dan berbadan tegap, yang umumnya tak begitu cantik yang berhasil bertahan hidup di hutan. Makanya perempuan-perempuan Batak sampai waktu yang cukup lama, umumnya tak cantik. Sekarang saja, baru ada perempuan Batak yang cantik,” kata Ibu Edith Dumasi Br Nababan, yang masih saudara kandung dengan Dr SAE Nababan, mantan Ephorus HKBP.
Selain membenarkan adanya kisah mengenai Tingki ni Pidari yang disebutnya sebagai masa kelam di Tanah Batak –seperti diceritakan oleh Parlindungan dalam buku Tuanku Rao– Ibu Edith Nababan yang juga istri Ir Sahat Lumban Tobing (alm) ini mengatakan, kisah mengenai Pongkinangolngolan Sinambela alias Tuanku Rao, adalah benar merupakan bere (keponakan) Singamangaraja X. Tapi karena Pongkinangolngolan memiliki kekuatan batin/spiritual, sejumlah datu di Bakkara mengatakan dia harus diusir/dibunuh. Itulah kisahnya maka dia terusir hingga ke Minang.
“Mertua dari mertua saya masih keturunan Dinasti Singamangaraja. Dan saya ada mendengar keberadaan Pongkinangolngolan sebagai bere Singamangaraja X, yang membunuh tulangnya itu,” kata mantan Ketua Pengadilan Tinggi di Lampung yang juga pernah menjabat sebagai wakil Ketua Pengadilan Tinggi di Jawa Baratdan di Kalbar ini.
Caranya, Pongkinangolngolan yang sudah bergelar Tuanku Rao, mengirim pesan ke Tulang-nya, untuk menerima pisau sebagai hadiah. Namun saat Tulangnya datang dari Bakkara, Pongkinangolngolan memeluk Tulang-nya itu dan menikamnya hingga tewas (versi MO Parlindungan, Singamangajara X dibunuh Jatengger Siregar).
Dari sana, Pasukan Paderi menyerang kampung Tulang-nya di Bakkara, dan menjarah harta benda, seperti perhiasan, baju, ternak, untuk logistik tentara. “Itulah cerita yang saya dengar dari ayah saya. Bahkan bibi dari ayah saya adalah salahsatu yang sempat ditawan Pasukan Paderi, yang berhasil melarikan diri dengan mengikuti aliran Aek Sigeaon,” kata ibu Edith Nababan (yang selanjutnya diwawancarai METRO).
Saat epidemi penyakit merajalela, Pasukan Paderi mundur dari Tanah Batak. Namun sebagian memilih tinggal di Silindung, di daerah Sosorpadang, dan sampai sekarang masih ditempati oleh orang Padang yang Islam. “Sampai saat ini mereka tidak pernah diganggu,” kata ibu yang saat ini menjabat sebagai Ketua Paguyuban Darma Wulan (Warga Usia Lanjut) cabang Medan.
Ibu Edith juga mengaku, sempat kenal dengan Sutan Martua Raja, ayah MO Parlindungan, si penulis buku Tuanku Rao. Saat itu, mereka tinggal bertetangga di Siantar. Ibu Edith sendiri kala itu masih murid SD, sementara Sutan Martua Raja sudah tua.
Menurut ibu yang sudah berambut putih ini, orang Batak tidak tersinggung dan tidak perlu dendam membaca buku Tuanku Rao. “Sejarah kelam di Tanah Tapanuli jangan sampai menumbuhkan dendam. Kekerasan horizontal antarsuku ataupun atas nama agama/kepercayaan harus diakhiri. Mari kita membuka diri menerima fakta, bahwa orang orang Batak pernah kalah dalam Perang Paderi. Dan mari kita belajar dari sejarah, dengan tidak mengulangi perbuatan kekerasan. Karena sejarah memang sangat mungkin berulang,” kata ibu yang saat masih gadis ini sudah menjabat sebagai Ketua PN Taput dan Dairi. (ikuti tulisan mengenai apa kata dua pembicara lainnya, dan apa tanggapan peserta diskusi soal Buku Rao).sumber
Wah dari tadi akubaca artikelnya seru ya appara…
kira-kira bukunya berapaan tu ya, n ada dimana?
Horas.. mauliate atas kunjungan appara artikel ini memang seru kejadian yang belum banyak yang mengetahui, buku ini dapat dipesan salah satunya di http://www.khatulistiwa.net seharga Rp 135,000.