Waktu saya kecil, saya pernah mendengar bunyi lawakan kalau tidak salah dari cassette Warkop milik Namboru (tante) di San Fransisco,CA. Berhubung waktu kecil saya dibesarkan di lingkungan yang berbahasa Inggris dan Hispanic di California, kemampuan Bahasa Indonesia apalagi bahasa Batak sangat minim. Untuk mengerti saja susah, apalagi untuk mengenal tikungan-tikungan bahasa dan kosa kata yang dapat mengakibatkan tawa akibat lawakan.
Perdebatan antara Paijo (Dono) dengan seorang berlogat Batak (kalau tidak salah Indro) yang mengatakan:
Dono: “Satu orang batak ngapain?”
Indro: “…. menyanyi solo!”
Dono: “Kalau berdua?”
Indro: “…. main Catur!”
Dono: “Bertiga…?”
Indro: (nada ragu) “…Main Halma”
Dono: “Berempat..?”
Indro: “Bikin Gereja lah..!”
Dono: “Nah lebih dari empat, semua pintu-pintu dan jendela harap DITUTUP..!!”
Rupanya yang dimaksud adalah gerombolan Batak kalau berkumpul maka akan terjadi banyak huru-hara (trouble maker).
Baca Juga : Pusuk Buhit Berhala Batak
Sehubungan dengan prelude tersebut, saya mencoba merefleksikan dengan perjalanan ayah ku yang telah genap berusia 80 tahun sekarang. “Daddy” adalah kata pertama yang kuucapkan dan kulafalkan hingga kini untuk menyebut dan memanggil bapakku ini. Beliau adalah seorang yang sederhana namun sangat kukuh dan totok ke-Batakannya. Bersama dengan Mama yang juga orang Batak, mendirikan sebuah keluarga yang menurut rekan dan famili di US “amat batak”.
Daddy ber-imigrasi ke US sekitar lima puluh tahun lalu sebagai mahasiswa di Wharton dan melanjutkan bekerja hingga lulus. Mungkin jarang waktu itu seorang batak kelahiran sebuah desa terpencil bermama Onanrunggu di pulau Samosir yang dapat masuk ke sebuah lembaga pendidikan prestigious di US yang merupakan salah satu dari Ivy League campus seperti Yale, Princeton, Harvard dan lain lain. Akibat banyak keributan sekitar peristiwa Gestapu, dan keadaan Indonesia yang sangat kacau, daddy lebih memilih tinggal dan menjadi warga negara US.
Sebagai seorang batak yang juga dapat dikatakan sebagai batak-totok dari Siantar lantas menuju ke kota kota besar di Amerika. Daddy cukup tergolong traditionalist dalam hal ke-Batak-an. Hal ini terlihat dengan pulangnya daddy ke Indonesia guna mencari istri yang boru batak pula. Anehnya daddy bertemu mama di kota Solo yang masih belajar di UGM waktu itu. Yang lantas diboyong ke US hingga kami putra-putrinya lahir dan besar di sini. Saya adalah anak sulung Humphrey Samosir dan my sister Cathrine Samosir.
Dasar pendidikan yang diberikan daddy kepada kami anak dan boru-nya sangat ketat. Disamping pendidikan formal yang di pantau secara mendetail juga tentang pendidikan riwayat keturunan Indonesian terutama suku dan adat Batak. Sedemikian teguhnya hingga kadang kala kami menganggap daddy cukup otoriter dalam hal pendidikan, apa lagi tentang adat dan bahasa Batak. Hingga kini, masih saja kuingat kata katanya yang menegas tentang “lapatan ni” (arti) “hata-batak” (bahasa batak). Cara deddy menerangkan dan mengkomposisikan bahasa batak agar mudah dimengerti oleh kami kanak kanak yang baru memasuki 5th grader dulu.
Adat batak menurut daddy adalah suatu warisan yang sangat sarat oleh nilai luhur. Sehingga wajib dimengerti secara luas dan mendalam. Walau harus melalui tahap latihan yang intens ala Samurai jepang. Yang dimulai dari Tarombo kami, mulai dari batak pertama Raja I Jolma lalu ke Guru Tateaboelan, Toga Pandiangan, lalu diurut ke Raja Sonang, lalu Sidari, hingga kebawah ke Ompu Podu dll, hingga sampailah ke Ompung saya yang bernama Amani Tongam (bapaknya si Tongam), yang bergelar “Datu Ronggur“, daddy saya Wilter adalah anak ke-empat. Semua harus hafal diluar kepala. Beserta semua perangkat famili dalam paradaton di Dalihan na Tolu.
“Samosir si pai piga do ho?” (Samosir generasi keberapa kau?)
“Samosir dia ma ho?” (Samosir yang mana kau?)
“Ise goar ni ompung mu?” (siapa nama kakekmu)
“Aha margani tulang mi?” (apa marga keluarga ibu?)
“Ise do hula hulam?” (siapa hula hula yang kau hormati?)
“Ise do Bona ni Ari mi?” (apa marga keluarga ibu dari daddy).
Menghafalkan prinsip “Dalihan na Tolu” (tungku tiga batu), yaitu Hula-hula, Boru dan Dongan Tubu/Sabutuha. Yang jika ditambah Raja na Ginongkon (tetua lain yang di undang) membentuk “Suhini Ampang na Opat” (bersegi empat). Inilah sendi sendi adat yang harus dihafal seperti Syahadat (lat:Credo). Hingga kami beranjak dewasa, daddy mulai memberi gambaran tentang “parjambaron” di ulaon adat. Siapa yang mendapat Somba-somba dan Osang, pihak mana yang mendapat Aliang-aliang, Soit dan lainnya. Kapan membawa Tumpak, atau menerima “tuak na tonggi” dll. Hingga ke tata cara mangulosi.
Kalau kami bertanya kenapa begitu sulit menyelami adat batak ini dan apa gunanya? Daddy menjawab bahwa kita harus bangga dari mana kita berasal. Dan menunjukkan bahwa kita orang beradab yang mengerti dan dapat saling menghormati dan Martua (dihormati) dalam Paradaton. Bukan keturunan “HATOBAN” (budak atau haram-jadah). Terutama kami yang lahir di Amerika, menurut daddy adalah mutlak perlu.
Adalah tugas mulia sebagai orang tua Batak untuk menurunkan pengetahuannya kepada anaknya dan demikian selanjutnya hingga membentuk rantai kehidupan yang lengkap. Adalah tugas kami untuk meneruskan ke generasi selanjutnya, bentuk secara utuh Batak dan tidak setengah setengah, begitu katanya.
Terlebih setelah lahirnya cucu daddy yang ke empat. Yang juga bere saya (keponakan) itu, sembari tersenyum lebar beliau berkata:
“Ahh.. nungnga sahat be tangiang ni omak nahinan.” (Ah… sudah sampai doa emak almarhum)
Sudah ku kelilingi dunia ini, punya anak, boru, menantu, parumaen serta empat pahompu (cucu). Nama ku pun sudah menjadi Ompu Vincent. Tugas ku sudah selesai, hanya karena Asi dohot Holong ni Debata aku bisa mati kapan saja Saur Matua.”
Rupanya betapapun jauh dia merantau, betapapun tinggi pendidikannya, daddy tetap seorang Batak asli dari desa Onanrunggu.
Semper Fi
HH. Samosir
Boha do hita na di parserahan… adong do sada tanggung jawab na so tertulis na ingkon do ajar hononta Habatakhon tu angka generasi ta.